Ushul Fikih Secara Bahasa dan Istilah serta kaitannya dengan Fikih dan Kaidah Fikih
10/21/21
Add Comment
Ushul fikih Secara bahasa dan Istilah (bahasa Arab: أصول الفقه) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.
Sumber-sumber hukum Islam
Mekanisme pengambilan hukum dalam Islam harus berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Sumber-sumber hukum islam terbagi menjadi 2: sumber primer dan sumber sekunder. Alquran dan sunnah merupakan sumber primer. Hukum-hukum yang diambil langsung dari Alquran dan Sunnah sudah tidak bertambah dan disebut sebagai syariah.
Adapun sumber hukum sekunder yaitu ijmak, qiyas, dan sumber hukum lain. Hukum-hukum yang diambil dari sumber sekunder disebut fikih. Ijmak dan qiyas merupakan sumber hukum yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sumber hukum lain seperti kebiasaan masyarakat, perkataan sahabat, dan istihsan diperselisihkan kevalidannya di antara mazhab-mazhab yang ada.
Sejarah Ushul Fikih
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fikih sesuai dengan Alquran, hadis, dan ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para Ulama ahli Usul Fikih menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu fikih.
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Alquran, kedudukan hadis, ijma, qiyas, dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya. Para ulama ushul fiqih dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.
Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai akal-pikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul), tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan persoalan cabang (furu') atau tidak.
Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh golongan Syafi'iyah
Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
Al-Burhan oleh Al-Juwaini
Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali
Al-Mahshul oleh Ar-Razy
Golongan Hanafiyah dalam pembahasannya selalu memperhatikan dan menyesuaikan peraturan-peraturan pokok (ushul) dengan persoalan cabang (furu'). Setelah kedua golongan tersebut muncullah kitab pemersatu antara kedua aliran tersebut di antaranya adalah;
Kitab yang digunakan oleh Kelompok Hanafiyah
Tanqihul Ushul oleh Sadrus Syari'ah
Badi'unnidzam oleh As-Sa'ati
Attahrir oleh Kamal bin Hammam
Al-Muwafaqat oleh As-Syatibi
Selain kitab-kitab tersebut di atas, juga terdapat kitab lain yaitu,
Irsyadul Fuhul oleh Asy-Syaukani,
Ushul Fiqih oleh Al-Chudari.
Kitab Ushul fiqih dalam bahasa Indonesia dengan nama "Kelengkapan dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M. Hasbi As-Shiddiqi.
Kaitan Ushul Fikih, Fikih dan Kaidah Fikih
Untuk lebih memperdalam lagi maka dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kaitan antara satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih.
Umat Islam pada umumnya lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan disorot oleh fikih.
Dapat disimpulkan bahwa Pengertian Fikih adalah panduan praktis tentang tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal (berhubungan dengan Tuhan) yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal (berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan) yang disebut dengan muamalah dalam arti yang luas.
Secara istilah Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir (kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak). Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang digarap oleh ilmu tasawuf.
Sedangkan Ushul Fikih secara adalah cara atau metode yang dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada (rukun).
Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib.
Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah Fikih didefinisikan sebagai ketentuan umum (dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya.
Kaidah fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi: keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya keraguan.
Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi.
Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara (proses) bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih mengelompokkan jenis-jenis produk roti.
Perbedaan secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai berikut:
- Ushul Fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang serupa.
- Secara hierarkis urutan kemunculannya adalah Ushul Fikih sebelum Fikih, sementara munculnya Kaidah Fikih setelah fikih.
- Objek kajian Ushul Fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama dengan fikih, yakni perbuatan orang mukallaf.
- Ushul Fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih muncul melalui pendekatan induktif.
Judul tulisan ini sengaja ditata berdasarkan urutan hierarki penggunaannya. Ushul fikih sebagai rumah produksi, fikih sebagai hasil produknya, lalu kaidah fikih yang bertugas mengelompokkan jenis-jenis produknya. Semoga dapat menyumbangkan titik terang ‘jenis kelamin’ tiga rumpun ilmu di atas. [] Wallahu ‘alam bisshawab.
Sumber : wikipedia dan staimtarate.ac.id
0 Response to "Ushul Fikih Secara Bahasa dan Istilah serta kaitannya dengan Fikih dan Kaidah Fikih"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.